Saya salah satu mahasiswa UNPAD yang menjadi korban peristiwa tsunami di Aceh. Peristiwa tersebut masih terekam jelas dibayangan saya dan mungkin keluarga saya. Karena ini merupakan cobaan terberat yang saya dan keluarga saya alami pada tahun itu.
Waktu itu, saya dan kedua orang tua saya sedang pergi ke Jakarta untuk menjenguk nenek saya yang dirawat di salah satu rumah sakit disana. Sedangkan kedua kakak dan adik saya tidak ikut kerena mereka sudah menjenguk satu minggu yang lalu dengan menggunakan pesawat.
Saat pergi, kami sama sekali tidak memiliki firasat apapun. Sesampai di Jakarta kami langsung menuju ke rumah sakit dan setelah itu kami berbelanja ke Bandung. Di Bandung kami menginap di hotel. Karena lelah, kami langsung tidur. Dan ketika pagi menuju siang hari, kami sangat terkejut ketika melihat berita ternyata di Aceh telah terjadi tsunami. Kami sekeluarga panik. Tidak ada satupun kelurga kami yang bisa dihubungi disana termasuk kedua kakak dan adik saya. Ketika kami memutuskan untuk pulang, tidak ada akses pesawat yang menyediakan penerbangan kesana dan bila lewat darat terlalu lama. Kami pun panik dan merasa tidak dapat berbuat apa-apa. Kami hanya dapat melihat bagaimana hancurnya lokasi tempat kami tinggal melalui televisi dan tidak kuasa untuk membayangkan bagaimana keadaan keluarga kami yang tinggal disana.
Ayah saya terus berusaha mencari informasi kemana-mana, ibu saya hanya bisa menangis, melamun dan menyesali semuanya, sedangkan saya hanya bisa diam dan entah apa yang harus saya lakukan pada saat itu untuk memperbaiki keadaan.
Kamipun memutuskan untuk menempuh jalur darat untuk menuju Aceh. Setelah berhari-hari diperjalanan, kamipun akhirnya sampai. Kami mencari informasi kemana-mana tapi tidak membuahkan hasil. Kami tidak menemukan satu anggota keluargapun disana. Setelah berhari-hari disana tidak membuahkan hasil, akhirnya ayah saya ditugaskan untuk bekerja di Bandung. Dan sekarang kami bertiga tinggal di Bandung.
Karena kejadian tsunami tersebut, sampai sekarang saya takut untuk bepergian ke daerah pantai. Dan setiap saya ada acara atau harus pergi jauh dari kedua orang tua saya, keberadaan saya selalu dimonitor, karena tinggal saya satu-satunya anak orang tua saya. Dan karena kejadian tersebut saya merasa takut untuk menyayangi seseorang (lawan jenis), karena saya sangat takut untuk merasa kehilangan kembali. Dan saya selalu berharap kedua kakak dan adik saya masih hidup dan sedang menjalani hidup yang lebih baik di tempat yang juah disana.
Waktu itu, saya dan kedua orang tua saya sedang pergi ke Jakarta untuk menjenguk nenek saya yang dirawat di salah satu rumah sakit disana. Sedangkan kedua kakak dan adik saya tidak ikut kerena mereka sudah menjenguk satu minggu yang lalu dengan menggunakan pesawat.
Saat pergi, kami sama sekali tidak memiliki firasat apapun. Sesampai di Jakarta kami langsung menuju ke rumah sakit dan setelah itu kami berbelanja ke Bandung. Di Bandung kami menginap di hotel. Karena lelah, kami langsung tidur. Dan ketika pagi menuju siang hari, kami sangat terkejut ketika melihat berita ternyata di Aceh telah terjadi tsunami. Kami sekeluarga panik. Tidak ada satupun kelurga kami yang bisa dihubungi disana termasuk kedua kakak dan adik saya. Ketika kami memutuskan untuk pulang, tidak ada akses pesawat yang menyediakan penerbangan kesana dan bila lewat darat terlalu lama. Kami pun panik dan merasa tidak dapat berbuat apa-apa. Kami hanya dapat melihat bagaimana hancurnya lokasi tempat kami tinggal melalui televisi dan tidak kuasa untuk membayangkan bagaimana keadaan keluarga kami yang tinggal disana.
Ayah saya terus berusaha mencari informasi kemana-mana, ibu saya hanya bisa menangis, melamun dan menyesali semuanya, sedangkan saya hanya bisa diam dan entah apa yang harus saya lakukan pada saat itu untuk memperbaiki keadaan.
Kamipun memutuskan untuk menempuh jalur darat untuk menuju Aceh. Setelah berhari-hari diperjalanan, kamipun akhirnya sampai. Kami mencari informasi kemana-mana tapi tidak membuahkan hasil. Kami tidak menemukan satu anggota keluargapun disana. Setelah berhari-hari disana tidak membuahkan hasil, akhirnya ayah saya ditugaskan untuk bekerja di Bandung. Dan sekarang kami bertiga tinggal di Bandung.
Karena kejadian tsunami tersebut, sampai sekarang saya takut untuk bepergian ke daerah pantai. Dan setiap saya ada acara atau harus pergi jauh dari kedua orang tua saya, keberadaan saya selalu dimonitor, karena tinggal saya satu-satunya anak orang tua saya. Dan karena kejadian tersebut saya merasa takut untuk menyayangi seseorang (lawan jenis), karena saya sangat takut untuk merasa kehilangan kembali. Dan saya selalu berharap kedua kakak dan adik saya masih hidup dan sedang menjalani hidup yang lebih baik di tempat yang juah disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar